Kita paham bahwa kepemimpinan bukanlah posisi atau jabatan. Karena
itu pejabat, mereka yang memangku jabatan, belum tentu pantas di sebut
pemimpin. Lihat saja sejumlah pejabat yang turun dari jabatannya, entah
karena diturunkan atau pensiun, sebagian malah jadi pesakitan di mata
hukum karena terkait korupsi; sebagian lagi mengalami post-power sindrom.
Kalau ia benar-benar pemimpin, tanpa jabatan pun banyak orang akan
tetap mengikutinya. Bahkan untuk pemimpin besar sekaliber Bung Karno,
Bung Hatta, dan Bung Syahrir, setelah mereka wafat pun banyak orang
masih dengan bangga mengaku sebagai pengikut setianya.
Kita paham bahwa kepemimpinan adalah pekerjaan. Cara menjadi pemimpin
itu sederhana saja: kerjakanlah pekerjaan yang hanya pemimpin memilih
melakukan jenis pekerjaan semacam itu; mereka yang bukan pemimpin akan
menjauhi pekerjaan itu. Dan untuk itu tidak diperlukan apa-apa kecuali
diri sendiri. Kekayaan besar tidak diperlukan, sebab pemimpin yang tidak
kaya juga melegenda. Mahatma Gandhi, Bunda Teresa, dan Nelson Mandela
adalah contohnya. Ketiganya juga memulai “karier” sebagai pemimpin tanpa
modal nama beken, tanpa dukungan partai politik atau konglomerat yang
luar biasa. Mereka memulai pekerjaannya dengan bekal seadanya.
Lalu apakah pekerjaan pemimpin itu? Apakah pekerjaan yang kalau
dilakukan pasti membuat seseorang menjadi pemimpin? Mungkin tiga hal
ini.
Pertama, pemimpin mengerjakan proses idealisasi, memikirkan hal-hal
yang ideal. Pemimpin melihat kenyataan masa kini sebagai sesuatu yang
tidak ideal, tidak seharusnya begini, dan sekaligus membayangkan sesuatu
yang ideal, yang seharusnya ada, dan yang benar-benar bisa terwujud,
suatu saat nanti. Jadi, pemimpin berpikir ke depan. Pemimpin berurusan
dengan masa depan. Tepatnya masa depan yang lebih baik bagi setiap orang
di lingkungannya.
Karena pekerjaan pemimpin selalu berkaitan dengan masa depan, maka ia
adalah pembaca tanda-tanda jaman. Ia membaca situasi dan kondisi dengan
cara yang khusus, cara-cara yang membuatnya mampu bersikap optimis. Ia
mampu melihat peluang dalam setiap tantangan yang menghadang. Itulah
pekerjaan pertama pemimpin, di seluruh dunia, di sepanjang jaman.
Kedua, pemimpin selalu bergairah untuk merumuskan apa yang ideal itu
menjadi sesuatu yang sederhana dan mudah dikomunikasikan kepada orang
banyak, terutama kepada konstituen yang mengikutinya dengan sukarela.
Rumusan itu galib kita sebut visi, suatu penglihatan jauh ke depan
tentang kemungkinan yang bisa tercipta dengan melakukan serangkaian
aktivitas tertentu di masa kini.
Bung Karno bicara mengenai Indonesia merdeka dan bhineka tunggal ika.
Bung Hatta bicara soal ekonomi kerakyatan. Gandhi, King, dan Mandela
bicara soal perlawanan tanpa kekerasan. Bunda Teresa bicara soal cinta
kasih kepada orang miskin. Semua itu rumusan visi yang sederhana, namun
berdaya gerak luar biasa, ketika dikomunikasikan dengan keyakinan yang
besar, dengan totalitas diri yang nyaris tanpa pamrih.
Ketiga, pemimpin selalu menawarkan agenda aksi. Mereka mencari
strategi-strategi terbaik. Mereka mengajak bertindak. Mereka
mengumpulkan orang untuk bergerak. Mereka berkolaborasi, melakukan
koalisi, kerjasama kemitraan startegis, atau apapun nama dan istilah
yang senyampang dengan itu. Mereka tak bisa diam, meski kadang mereka
dipaksa menunggu waktu yang tepat untuk bertindak.
Visi yang besar dan jelas menjadi sumber inspirasi yang tak pernah
kering untuk mencari cara merealisasikannya. Membicarakan visinya saja
sudah membuat mereka bersemangat untuk segera bertindak. Dan dalam tiap
tindakan (proses) merealisasikan visi itu, sang pemimpin memberikan
dirinya total, nyaris tanpa pertimbangan. Ia ikhlas memberikan
dirinya—baik waktu, tenaga, pikiran, perasaan, bahkan harta benda—dan
sangat kurang memikirkan dirinya sendiri. Pamrihnya yang utama, kalau
boleh dikatakan pamrih, adalah membuat visi itu menjadi nyata, menjadi
realita dan fakta sejarah yang baru yang membuat dunia di sekitarnya
menjadi lebih baik.
Dalam konteks bisnis, para pemimpin perlu berpikir keras untuk
melakukan idealisasi dari usaha yang dipimpinnya saat ini. Seberapa
idealkah keadaan perusahaan yang dipimpinnya saat ini, saat Amerika
Serikat terpuruk oleh keserakahan yang diciptakannya sendiri? Bisakah
para pemimpin bisnis—dalam berbagai tekanan krisis dan pesimisme kronis
yang bersifat global—membayangkan bentuk yang lebih baik, lebih
sempurna, dan lebih bermakna dari apapun yang sekarang eksis? Mampukah
ia menerobos realitas dan seolah-olah menjadi “tidak realistis” karena
berpikir ideal?
Jika idealisasi sudah makin mewujud, maka tantangan berikutnya adalah
bagaimana memformulasikan hal itu menjadi visi bersama, visi
organisasi, visi konglomerasi, yang dipahami oleh seluruh jajaran
konstituen, pekerja, dan pengikutnya. Jika visi itu pernah ada,
bagaimana merevisi hal yang penting itu dalam formulasi baru yang lebih
“bernyawa” dan “berbunyi nyaring”. Formulasi dan reformulasi visi disatu
sisi, serta upaya-upaya serius untuk mengkomunikasikannya dilain sisi,
adalah dua keping dari satu mata uang, yang satu tak banyak berguna
tanpa yang lain.
Selanjutnya, perlu diperbaiki agenda aksi berdasarkan
strategi-strategi yang diperbaharui, yang telah diperkaya oleh tuntutan
perkembangan jaman, yang memanfaatkan kecerdasan-kecerdasan terbaik
dalam organisasi bisnis terkait. Inilah bekal bagi pelaksana lapangan
untuk bertindak dari waktu ke waktu, namun tanggung jawab atas segala
akibat yang ditimbulkan tetaplah dipundak sang pemimpin.
Jadi, wahai para pemimpin: bekerjalah!