Halaman

Rabu, 26 September 2012

Kerja Pemimpin


Kita paham bahwa kepemimpinan bukanlah posisi atau jabatan. Karena itu pejabat, mereka yang memangku jabatan, belum tentu pantas di sebut pemimpin. Lihat saja sejumlah pejabat yang turun dari jabatannya, entah karena diturunkan atau pensiun, sebagian malah jadi pesakitan di mata hukum karena terkait korupsi; sebagian lagi mengalami post-power sindrom. Kalau ia benar-benar pemimpin, tanpa jabatan pun banyak orang akan tetap mengikutinya. Bahkan untuk pemimpin besar sekaliber Bung Karno, Bung Hatta, dan Bung Syahrir, setelah mereka wafat pun banyak orang masih dengan bangga mengaku sebagai pengikut setianya.
Kita paham bahwa kepemimpinan adalah pekerjaan. Cara menjadi pemimpin itu sederhana saja: kerjakanlah pekerjaan yang hanya pemimpin memilih melakukan jenis pekerjaan semacam itu; mereka yang bukan pemimpin akan menjauhi pekerjaan itu. Dan untuk itu tidak diperlukan apa-apa kecuali diri sendiri. Kekayaan besar tidak diperlukan, sebab pemimpin yang tidak kaya juga melegenda. Mahatma Gandhi, Bunda Teresa, dan Nelson Mandela adalah contohnya. Ketiganya juga memulai “karier” sebagai pemimpin tanpa modal nama beken, tanpa dukungan partai politik atau konglomerat yang luar biasa. Mereka memulai pekerjaannya dengan bekal seadanya.
Lalu apakah pekerjaan pemimpin itu? Apakah pekerjaan yang kalau dilakukan pasti membuat seseorang menjadi pemimpin? Mungkin tiga hal ini.
Pertama, pemimpin mengerjakan proses idealisasi, memikirkan hal-hal yang ideal. Pemimpin melihat kenyataan masa kini sebagai sesuatu yang tidak ideal, tidak seharusnya begini, dan sekaligus membayangkan sesuatu yang ideal, yang seharusnya ada, dan yang benar-benar bisa terwujud, suatu saat nanti. Jadi, pemimpin berpikir ke depan. Pemimpin berurusan dengan masa depan. Tepatnya masa depan yang lebih baik bagi setiap orang di lingkungannya.
Karena pekerjaan pemimpin selalu berkaitan dengan masa depan, maka ia adalah pembaca tanda-tanda jaman. Ia membaca situasi dan kondisi dengan cara yang khusus, cara-cara yang membuatnya mampu bersikap optimis. Ia mampu melihat peluang dalam setiap tantangan yang menghadang. Itulah pekerjaan pertama pemimpin, di seluruh dunia, di sepanjang jaman.
Kedua, pemimpin selalu bergairah untuk merumuskan apa yang ideal itu menjadi sesuatu yang sederhana dan mudah dikomunikasikan kepada orang banyak, terutama kepada konstituen yang mengikutinya dengan sukarela. Rumusan itu galib kita sebut visi, suatu penglihatan jauh ke depan tentang kemungkinan yang bisa tercipta dengan melakukan serangkaian aktivitas tertentu di masa kini.
Bung Karno bicara mengenai Indonesia merdeka dan bhineka tunggal ika. Bung Hatta bicara soal ekonomi kerakyatan. Gandhi, King, dan Mandela bicara soal perlawanan tanpa kekerasan. Bunda Teresa bicara soal cinta kasih kepada orang miskin. Semua itu rumusan visi yang sederhana, namun berdaya gerak luar biasa, ketika dikomunikasikan dengan keyakinan yang besar, dengan totalitas diri yang nyaris tanpa pamrih.
Ketiga, pemimpin selalu menawarkan agenda aksi. Mereka mencari strategi-strategi terbaik. Mereka mengajak bertindak. Mereka mengumpulkan orang untuk bergerak. Mereka berkolaborasi, melakukan koalisi, kerjasama kemitraan startegis, atau apapun nama dan istilah yang senyampang dengan itu. Mereka tak bisa diam, meski kadang mereka dipaksa menunggu waktu yang tepat untuk bertindak.
Visi yang besar dan jelas menjadi sumber inspirasi yang tak pernah kering untuk mencari cara merealisasikannya. Membicarakan visinya saja sudah membuat mereka bersemangat untuk segera bertindak. Dan dalam tiap tindakan (proses) merealisasikan visi itu, sang pemimpin memberikan dirinya total, nyaris tanpa pertimbangan. Ia ikhlas memberikan dirinya—baik waktu, tenaga, pikiran, perasaan, bahkan harta benda—dan sangat kurang memikirkan dirinya sendiri. Pamrihnya yang utama, kalau boleh dikatakan pamrih, adalah membuat visi itu menjadi nyata, menjadi realita dan fakta sejarah yang baru yang membuat dunia di sekitarnya menjadi lebih baik.
Dalam konteks bisnis, para pemimpin perlu berpikir keras untuk melakukan idealisasi dari usaha yang dipimpinnya saat ini. Seberapa idealkah keadaan perusahaan yang dipimpinnya saat ini, saat Amerika Serikat terpuruk oleh keserakahan yang diciptakannya sendiri? Bisakah para pemimpin bisnis—dalam berbagai tekanan krisis dan pesimisme kronis yang bersifat global—membayangkan bentuk yang lebih baik, lebih sempurna, dan lebih bermakna dari apapun yang sekarang eksis? Mampukah ia menerobos realitas dan seolah-olah menjadi “tidak realistis” karena berpikir ideal?
Jika idealisasi sudah makin mewujud, maka tantangan berikutnya adalah bagaimana memformulasikan hal itu menjadi visi bersama, visi organisasi, visi konglomerasi, yang dipahami oleh seluruh jajaran konstituen, pekerja, dan pengikutnya. Jika visi itu pernah ada, bagaimana merevisi hal yang penting itu dalam formulasi baru yang lebih “bernyawa” dan “berbunyi nyaring”. Formulasi dan reformulasi visi disatu sisi, serta upaya-upaya serius untuk mengkomunikasikannya dilain sisi, adalah dua keping dari satu mata uang, yang satu tak banyak berguna tanpa yang lain.
Selanjutnya, perlu diperbaiki agenda aksi berdasarkan strategi-strategi yang diperbaharui, yang telah diperkaya oleh tuntutan perkembangan jaman, yang memanfaatkan kecerdasan-kecerdasan terbaik dalam organisasi bisnis terkait. Inilah bekal bagi pelaksana lapangan untuk bertindak dari waktu ke waktu, namun tanggung jawab atas segala akibat yang ditimbulkan tetaplah dipundak sang pemimpin.
Jadi, wahai para pemimpin: bekerjalah!

Tidak ada komentar:

Posting Komentar